ILMU QIRA'AT
Oleh : Noor Aisyah Istiani
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam “Ulumul
al-Quran”, namun tidak banyak orang yang tertarik untuk mempelajarinya kecuali
orang-orang tertentu saja. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya
adalah ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari, tidak
seperti ilmu fiqih, ilmu hadits, dan tafsir yang dapat dikaitkan langsung
dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau
hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah berjasa dalam
menggali, menjaga, dan mengajarkan berbagai cara membaca al-Quran yang benar
sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qira’at telah
mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan
kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Quran terjaga dari kemungkinan
penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian
al-Quran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian sab’atu ahruf?
2.
Bagaimana
pengertian qira’at?
3.
Apa
perbedaan sab’atu ahruf dan qira’at?
4.
Apa
saja syarat-syarat qira’at mu’tabar?
5.
Apa
saja macam-macam qira’at dan imam qira’at?
6.
Bagaimana
pengaruh perbedaan qira’at dalam istinbath hukum?
C.
Tujuan Pembuatan Makalah
1.
Untuk
mengetahui pengertian sab’atu ahruf.
2.
Untuk
mengetahui pengertian qira’at.
3.
Untuk
mengetahui perbedaan sab’atu ahruf dan qira’at.
4.
Untuk
mengetahui syarat-syarat qira’at mu’tabar.
5.
Untuk
mengetahui macam-macam qira’at dan imam qira’at.
6.
Untuk
mengetahu pengaruh perbedaan qira’at dalam istinbath hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sab’atu Ahruf
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقْرَأَنِيْ جِبْرِيْلُ
عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيْدُهُ وَيَزِيْدُنِى حَتَّى
اِنْتَهَى إِلىَ سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Artinya: “Dari ibnu Abbas ra. bahwa ia
berkata : Bersabda Rasul Saw : Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka
aku mengulang apa yang telah ia bacakan kepadaku, maka aku terus minta tambah
dalam bacaan tersebut dan ia pun menambahinya hingga berakhir sampai tujuh
huruf”
Arti sab’atu ahruf (tujuh huruf) dalam hadits di atas mengandung
banyak penafsiran dan pendapat dari kalangan ulama. Hal itu disebabkan karena
kata sab’ah itu sendiri dan kata ahruf mempunyai banyak arti. Kata sab’ah dalam
bahasa Arab bisa berarti bilangan tujuh, dan bisa juga berarti bilangan tak
terbatas. Sedang kata ahruf adalah jama dari harf yang mempunyai macam-macam arti, antara lain,
salah satu huruf hijaiyah, makna, saluran air, wajah, kata, bahasa, dan
lain-lain.
Para ulama telah mencoba menfsirkan sab’atu ahruf, yang menurut
Imam As-Suyuti, tidak kurang dari empat puluh penafsiran. Penafsiran yang paling masyhur pendapat dari
Abul Fadl Ar-Razi. Dia mengatakan bahwa arti Sab’atu Ahruf adalah tujuh
wajah/bentuk. Maksudnya keseluruhan Al-Quran dari awal sampai akhir tidak akan
keluar dari tujuh wajah perbedaan berikut:
1.
Perbedaan bentuk isim (mufrad, mutsanna, atau jama’)
2.
Perbedaan bentuk fi’il (madi, mudari’, atau amr)
3.
Perbedaan bentuk i’rab (rafa’, nasab, jar, atau jazam)
4.
Perbedaan bentuk naqis (kurang) atau ziyadah (tambah)
5.
Perbedaan bentuk Taqdim dan Ta’khir (mendahulukan dan
mengemudiankan)
6.
Perbedaan bentuk Tabdil (pergantian huruf atau kata)
B.
Pengertian Qira’at
Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), “qira’at” merupakan kata
jadian (mashdar) dari kata kerja “qara’a” (membaca).[2] Sedangkan
pengertian terminologi (istilah), qira’ah
adalah salah satu aliran dalam pelafalan atau pengucapan al-Qur’an oleh seorang
imam qurra’ yang berbeda-beda dengan yang lainnya. Dalam hal ucapan huruf
maupun lafadznya.[3]
Menurut
Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau
menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang
diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.[4]
Ada beberapa definisi qira’at yang dikemukakan para ulama’:
1.
Menurut
Az-Zarqani
“Suatu madzhab yang dianut seorang
imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta
sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan
huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.”
2.
Menurut
Ibn Al-Jazari
“Ilmu yang menyangkut cara-cara
mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaan dengan cara menisbatkan
kepada penukilnya.”
عِلْمٌ بِكَيْفِيَّاتِ
اَدَاءِكَلِمَاتِ الْقُرْاَنِ وَاخْتِلاَفِهَا بِعِزْوِالنَّافِلَةِ
3.
Menurut
Al-Qasthalani
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal
yang disepakati dan diperselisihkan ulama’ yang menyangkut persoalan lugbat,
i’rab, itsbat, fasbl, dan wasbl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatnya.
”
4.
Menurut
Az-Zarkasyi
“Qira’at adalah perbedaan (cara
mengucapkan) lafazd-lafadz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau
pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takblif (meringankan), tatsqil
(memberatkan), dan atau yang lainnya.”
5.
Menurut
Ash-Shabuni
“Qira’at adalah suatu madzhab cara
pelafalan al-Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang
bersambung kepada Rasulullah SAW.”
Perbedaan pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu
kerangka yang sama bahwa ada beberapa cara melafalkan al-Qur’an walaupun
sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad.[5]
C.
Perbedaan Sab’atu Ahruf dan Qira’at
Banyak ulama yang berpendapat bahwa
Ahruf Sab’ah dan Qira’at memiliki banyak kesamaan, namun dalam uraian di atas terdapat
beberapa perbedaan di antara keduanya, yaitu
1. Sab’atu Ahruf
a.
Sab’atu ahruf merupakan dialek-dialek (lahjah) orang Arab
dalam mengungkapkan suatu maksud.
b.
Dapat di artikan pula sebagai tujuh keluasan membaca, dan si
pembaca boleh memilih bacaannya mana yang di kehendakinya.
c.
Menurut sebagian ulama yang di maksud tujuh bahasa tersebut
adalah : Quraisy, Tsaqif, Hawazan, Kinanah, Tamim, dan Yaman.
2. Qira’at
a. Qira’at merupakan salah satu aliran
dalam mengucapkan Al-Qur’an yang di pakai oleh salah seorang imam qura’ yang
berbeda dengan lainnya dalam hal pengucapan Al-Qur’an.
b. Qira’at terikat dengan imam qura’
yang menyebarkannya walaupun pada akhirnya berasal dari Rasul.
c. Menurut pendapat As-Suyuti bahwasanya
qira’at itu tujuh bahasa, yaitu : Bahasa Quraisy, Yaman, Jurhum, Hawazin,
Qudha’ah, Tamim, dan Thayyi’.
D.
Syarat-syarat Qira’at Mu’tabar
Untuk menangkal penyelewangan qira’at yang sudah mulai muncul, para
ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk
membedakan antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah).
Para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar. Pertama,
qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab. Kedua, qiraat itu sesuai dengan salah
satu muhsaf-muhsaf Utsmani. Ketiga, bahwa sahih sanadnya, baik diriwayatkan
dari imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qira’at
yang diterima selain mereka. Setiap qira’at yang memenuhi kriteria ini adalah
qira’at yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya,
qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebagai qira’at
yang lemah, baik qira’at tersebut diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh
maupun dari imam yang lebih besar dari mereka.[6]
E.
Macam-macam Qira’at dan Imam Qira’at
E.1.
Macam-macam Qira’at
Macam-macam
Qira’at Menurut Ketetapan:
1.
Qira’at
Mutawatir yaitu diriwayatkan oleh sekelompok orang banyak dari orang banyak,
dan mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
2.
Qira’at
Masyhur yaitu yang diriwayatkan oleh orang banyak, akan tetapi tidak mencapai
tingkat mutawatir.[7]
3.
Qira’at
Ahad yaitu tidak mencapai derajat masyhur, memiliki sanad sahih, tetapi
menyalahi tulisan mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa arab, dan tidak dibaca
sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan. Al-Tirmidzi dalam kitab Jami’-nya
dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira’ah seperti ini dalam bahasan
khususnya, diantaranya riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim
Al-Jahdiri, dari Abu Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. Membaca ayat:
مُتَّكِئِيْنَ عَلى رَفَارِفَ خُضْرٍوَعَبَاقَرِيَ
حِسَانٍ.
Artinya: “Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan
permadani-permadani yang indah.” (Q.S Ar-Rahman:76)
Qira’at mushaf Utsmani:
مُتّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ
خُضْرٍوَعَبَاقَرِيَ حِسَانٍ.
4.
Qira’at
Syadz (menyimpang) yaitu sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis
untuk jenis qira’at ini. Diantaranya qira’at ini adalah:[8]
مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ
Artinya: “Yang menguasai hari pembalasan.” (Q.S
Al-Fatihah:4)
Qira’at mushaf Utsmani:
ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
5.
Qira’at
Maudhu’ (palsu) yaitu yang dinisabkan kepada seseorang tanpa ada asal,
umpamanya qira’at-qira’at yang dikumpulkan oleh Muhamad bin Jafar Al-Khuza’y,
dan dinisbahkan kepada Abu Hanifah:[9]
اِنَّمَا يَخْشَىى اللهُ مِنْ عِبَا دِهِ
الْعُلَمَاءَ
Dengan rafa (dammah) kata: اللهُ dan nasb (fatha) kata: العُلَمَاءَ
6.
Qira’at
Mudraj (sisipan) yaitu yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelasan terhadap
suatu ayat al-Qur’an. Umpamanya, qira’at Waqqash yang:[10]
وَلَه اَخٌ اَوْاُخْتٌ مِنْ اُمٍّ
Artinya: “Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja).” (Q.S An-Nisa’:12)
Qira’at mushaf Utsmani:
وَلَه اَخٌ اَوْ اُخْتٌ
E.2. Imam Qira’at
Sebagian
kelompok menyendiri dan mendalami bacaan (hafalan) al-Qur’an dengan serius,
hingga mereka menjadi panutan dan teladan. Mereka tersebar di Madinah, Kufah,
Bashrah, dan Syam.
Ada tujuh
diantara mereka yang terkenal dari berbagai penjuru dunia pada waktu itu,
yaitu:
1.
Nafi’,
dia adalah Ibnu Abdurrahman bin Abi Un’aim. Ada tujuh puluh tabi’in yang
mengambil pelajaran dari beliau, diantaranya Abu Ja’far.
2.
Ibnu
Katsir, dia adalah Abdullah bin Katsir bin Muthalib al-Qurasyiy. Dia mengambil
pelajaran dari Abdullah bin Saib al-Shahaby.
3.
Abu
‘Amr, dia adalah Abu ‘Amr al-Bashary al-Mazan. Dia mengambil pelajaran dari
tabi’in.
4.
Ibnu
‘Amir, dia adalah Abdullah bin ‘Amir al-Yahashby. Dia mengambil pelajaran dari
Abi Darda’ dan kawan-kawan Utsman.
5.
‘Ashim,
dia adalah Ibnu Bahdalah Abi Nujud al-Asady. Dia mengambil pelajaran dari
tabi’in.
6.
Hamzah,
dia adalah Hamzah bin Hubaib al-Zayyat. Dia mengambil pelajaran dari ‘Ashim dan
A’masy, al-Sabi’iy, Mansur bin Mu’tamir dan lain-lain.
7.
Al-Kisa’iy,
dia adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah al-Asady. Dia mengambil pelajaran dari
Hamzah dan Abi Bakar bin ‘Ayyahsy.
Kemudian
tersebarlah para ahli qira’at di berbagai penjuru, dan berpencar-pencar setelah
melalui beberapa kurun umat, dan dari beberapa ahli qira’at yang terkenal dari
setiap alur tujuh ada dua riwayat yang masyhur, yaitu:
1.
Dari
Nafi’; Qalun, dan Warasy mengambil pelajaran darinya.
2.
Dari
Ibnu Katsir; Qanbal, dan al-Bazziy mengambil dari murid-murid beliau.
3.
Dari
Abi ‘Amr; al-Dauriy dan al-Sawasiy dari Yuzidiy dan dari beliau.
4.
Dari
Ibnu ‘Amir; Hisyam dan Ibnu Dzakwan dari murid-murid beliau.
5.
Dari
‘Ashim; Abu Bakar bin ‘Ayyasy dan Hafs dari beliau.
6.
Dari
hamzah; Khalf dan Khallad dari Salim dari beliau.
7.
Dari
Kisa’iy; al-Dauriy dan Abu Harits.[11]
F.
Pengaruh Perbedaan Qira’at dalam Istinbath Hukum
Perbedaan antara satu qira’at dengan qira’at yang lainnya bias
terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan
dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah pasti membawa sedikit atau
banyak, perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang
diistimbath daripadanya.[12]
Contoh berikut dapat memperlihatkan pengaruh itu:[13]
وَيَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ الْمَحِيْضِقلى
قُلْ هُوَاَذًى فَاعْتَزِلُواالنِّسَاءَفِى المَحِيْضِ وَلاَتَقْرَبُوْهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ ج
فَاِذَاتَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللهُ اِنَّ اللهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرِيْنَ.
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang
haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Q.S Al-Baqarah: 222)
Berkaitan dengan ayat di atas, diantara imam
qira’at tujuh, yaitu Abu Bakar Syu’bah, Hamzah, dan Al-kisa’I membaca kata يَطْهُرْنَ dengan member syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya
menjadi يُطَّهِّرْنَ . Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda
pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca يَطْهُرْنَ berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan
dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti keluarnya
darah haid. Sementara yang membaca يُطَّهِّرْنَ
menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubunga seksual
dengan istrinya, kecuali telah bersih.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sab’atu Ahruf adalah tujuh wajah/bentuk.
2.
Qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara
menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang
disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang
menukilkannya.
3.
Ahruf Sab’ah dan Qira’at memiliki banyak kesamaan, namun
dalam uraian di atas terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya.
4.
Syarat qira’at ada 3, yaitu : qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab, qiraat itu sesuai dengan
salah satu muhsaf-muhsaf Utsmani, qira’at itu sahih sanadnya.
5.
Macam-macam qira’at:
a.
Qira’at
Mutawatir
b.
Qira’at
Masyhur
c.
Qira’at
Ahad
d.
Qira’at
Syadz
e.
Qira’at
Maudhu’
f.
Qira’at
Mudraj
Imam qira’at mereka tersebar di Madinah, Kufah, Bashrah, dan Syam.
Ada tujuh diantara mereka yang terkenal dari berbagai penjuru dunia pada waktu
itu.
6.
Perbedaan
antara satu qira’at dengan qira’at yang lainnya bias terjadi pada perbedaan
huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini sudah pasti membawa sedikit atau banyak, perbedaan
kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistimbath
daripadanya.
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya paparkan, saya menyadari dalam
penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Dan semoga makalah
ini dapat member manfaat bagi yang membaca. Dan saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya apabila ada kesalahan kata ataupun penulisan dalam makalah
ini.
[2] Rosihon Anwar,
ULUMUL AL-QURAN, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 140
[3] Abdul Zulfikar
Akaha, AL-QUR’AN DAN QIRA’AH, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm. 194
[5] Rosihon Anwar,
ULUMUL AL-QURAN, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 140-141
[7] Mohammad Nor
Ichwan, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.
213
[8] Rosihon Anwar,
ULUMUL AL-QURAN, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 152-153
[9] Ahmad Syadali,
ULUMUL QURAN 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 230
[10] Mohammad Nor
Ichwan, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.
214
[11] Idhon Anas,
KAIDAH-KAIDAH ULUMUL QUR’AN, (Pekalongan: At-Asri Pekalongan, 2008), hlm. 12-13
[12] Ahmad Syadili,
ULUMUL QURAN 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 232
[13] Rosihon Anwar,
ULUMUL AL-QURAN, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 157
No comments:
Post a Comment